28/04/11

PEMILU TAK REPRESENTATIF UNTUK DEMOKRASI


Perbincangan kata demokrasi saat ini masih digandrungi oleh banyak elemen masyarakat (termasuk HMI), apalagi saat mendekati pemilu. Konsepsi demokrasi mulai dikenalkan di Yunani pada 450-350 M  oleh Aristoteles yang kemudian mulai dikembangkan oleh Hegel dan muridnya Kalr Marx. Pemahaman akan sistem demokrasi ini akhirnya menjadi tonggak terwujudnya revolusi di Jerman.


Indonesia menjadikan sistem demokrasi dimulai secara legal sejak ditetapkannya pancasila sebagai dasar negara pada masa demorasi terpimpin (1945-1949). Hal tersebut termaktub dalam butir sila ke-4, sebuah kesamaan dengan yang diungkapan oleh C.F Strong “dalam pengertian ini demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota-anggota masyarakat berpartisipasi dalam politik melalui suatu metode perwakilan yang menjamin pemerintah langsung bertanggungjawab atas tugas-tugasnya terhsadap masyarakat.” Kata “berpartisipasi” merupakan dasar utama dalam pelaksanaan demokrasi. Secara epistimologi, demokarsi dapat diartikan dari kata dasarnya ‘kratos’ (kekuasaan atau aturan) dan ‘demos’ (rakyat). Sehingga komponen rakyat memiliki peran paling utama, bahkan Abraham Lincoln mengungkapkan government of the people for the people.

Membincang demokrasi di Indonesia pada masa reformasi (1998-sekarang), maka sudah sepatutnya kita juga mengemukakan pemilihan legialatif (disingkat Pemilu) yang selama ini dianggap representative dalam mengakomodir masalah demokrasi. Akan tetapi apakah hal tersebut masih dapat dikatakan demikian? Sebuah PR besar bagi para birokrasi pemerintah untuk menyelesaikan tuntutan reformasi.

Sytem pemilu di Indonesia menurut UU no.23 tahun 2003, bisa dikatakan menggunakan sistem proporsional multi partai. Sistem ini lebih dipilih karena memberikan perolehan suara mempresentasikan kuantitas penduduk dan sistem ini dianggap lebih demokratis dalam arti egalitarian. Kemenangan akan hanya akan diakui jika mendapatkan dukungan 50% lebih satu suara dari jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini mengharuskan seluruh rakyat Indonesia ikut aktif dalam pemilu. Sungguh sangat ironi jika Presiden menang akan tetapi dikalahkan oleh jumlah angka Golput (Golongan putih yang tidak memberikan hak suaranya).

Penyelenggara dan para pelaku politik praktis mengambil berbagai cara agar seluruh rakyat Indonesia yang memiliki hak suara (jika bisa dikatakan sesuai dengan DPT dari KPU) pergi ke TPS untuk memberikan suaranya. Mulai dari menghias TPS, menjemput pemilih, hingga memberikan ‘pesangon’. Permasalahan yang paling utama pada kondisi ini adalah kurangnya pemahaman warga mengenai arti demokrasi yang dicetuskan oleh orang berdasi di senayan. Ketidak pahaman ini tidak bisa disalahkan secara mutlak kepada warga karena bisa saja hal ini berhubungan dengan pendidikan dan kebutuhan.

Rakyat dalam akan menentukan pilihan sering tidak mengetahui curriculum vitae dari calon yang ada. Bagaimana rakyat bisa kenal jika calonnya bukan dari komunitasnya. Missal, daerah pemilihan I terdiri dari kabupaten A, B dan C. Calon dinyatakan lolos jika mendapatkan suara terbanyak dengan sistem merata di daerah pemilihan I. sedangkan calon dari partai hanya memiliki kader terbaik dari kabupaten C, tentunya warga dari kabupaten A dan B banyak yang tidak kenal. Kondisi ini sering diatasi dengan menunjuk salah satu orang dalam kabupaten A dan B untuk menggalang suara. Karena mendapat bayaran yang cukup besar maka orang tersebut menyanggupinya. Bermodal pamflet dan uang, orang ini akan menggalang suara di kabupaten  A atau B. jika ada rakyat menanyakan tentang curriculum vitae calon, maka yang dijawab orang tersebut cukup sederhana “pokoknya ia ganteng dan kaya dari kabupaten C”.
Nur Cholis Majid menyampaikan “inti demokrasi ialah partisipasi umum (universal participation) seperti dalam masyarakat medinah”. Partisipasi masyarakat dianggap dilaksanakan secara sadar, bukan karena paksaan atau tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Paksaan dan tekanan ini dapat diterima warga baik secara keras maupun halus. Paksaan diterima rakyat secara langsung sedangkan tekanan tidak langsung. Paksaan biasanya berhubungan dengan konstituen yang dibawa, missal kader partai. Kemudian tekanan dalam kultur budaya nusantara sangatlah lembut, gratifikasi dan money politic sering dijadikan alatnya.

Penggunaan sistem pemilu yang tanpa dilandasi dengan melihat budaya di Indonesia bisa dikatakan sebagai bentuk plagiatis politik. Indonesia yang memiliki penduduk mayoritas muslim (mungkin) dan terdiri dari berbagai suku seharusnya mampu memiliki sistem pemilu tersendiri. Sistem keraton masih dikenal istilah “mandat” atau “dawuh” untuk wilayah bagian-bagiannya. Islam masih mengenal sistem “taqdim”. Selain itu, melihat budaya suku-suku di wilayah kepulauan Indonesia juga masih mengenal “sesepuh” atau pemangku adat. Kondisi tersebut (pemilu) sangat bertentangan dengan budaya yang ada di nusantara. Ahli pakar politik sering mengatakan bahwa sistem politik dan hokum di Indonesia adalah warisan Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Kondisi ini diperburuk dengan penggunaan referensi dari sistem demokrasi di Yunani dan Amerika, sungguh ironi.

Dalam penentuan pemimpin, Rosulullah tidak pernah memberikan cara  penentuan pemimpin dengan mekanisme suara terbanyak. Pengambilan keputusan menggunakan sistem otokrasi (pembagian harta ghanimah), perwakilan (peristiwa peletakan batu hajar aswad) dan musyawarah untuk mufakat (peristiwa perang khanda’). Hal ini memberikan cukup pemahaman bagi kita mengenai arti keterlibatan komponen penyusun masyarakat (ummah) untuk menentukan keputusan. Pembentukan ‘masyarakat tunggal’ akan mustahil jika sistem pemilu yang sekarang dilaksanakan masih dicerminkan dengan multi partai.

Tidak ada komentar: