19/10/10

"cendekiawan ulama" & "ulama cendikiawan"

Orang mukmin yang kuat (cerdas) lebih bagus dan akan disenangi oleh ALLAH daripada mukmin yang lemah dan bodoh.”  – H.R. Muslim – 


Himpunan merupakan salah satu wadah bagi para mahasiswa dalam menunjukkan eksistensi diri sebagai khalifah di muka bumi. Manusia diciptakan dengan diberikan bekal fuad dan kemampuan inderawi. Pengelolaan kemampuan ini diperlukan untuk menuntaskan tugas yang nanti akan dipertanggungjawabkan secara langsung di yaumul hisab.

Pendidikan dan pembentukan karateristik sebagai jati diri dakwah himpunan akan terwujudkan melalui aplikasi-aplikasi kecil dalam lingkup sosial para kader. Menilik skema perkaderan yang ada dalam himpunan, untuk mewujudkan insan cita HMI (Insan Ulil Albab) maka dikembangkan model pendidikan diantara dua model yang lain, yaitu model kegiatan dan model jaringan. Secara lebih khusus pola pendidikan ini nantinya dapat mempertegas citra dan identitas peranan kader untuk mencapai tujuan besar himpunan.

Pengembangan pendidikan dalam himpunan telah mampu terakomodir dalam bentuk kajian-kajian, diskusi, dan sarasehan yang diselenggarakan oleh unit aktifitas khusus di komisariat. Jargon pemikiran kader himpunan harus terimplementasikan dalam sikap dan gerak. Hal ini berkenaan dengan bentuk himpunan sebagai wadah perkaderan. Perkaderan ini tentunya tidak hanya tertuang dalam kuantitas saja, tapi juga harus terpenuhi secara lengkap dengan kualitas kader yang mampu berjihad sehingga nafas perjuangan dalam mengikarkan panji syahadat terus tertuang dalam pemikiran jernih kader.

Sebagai kader cendikiawan ulama’ dan ulama’ cendikiawan, anggota himpunan harus membawa jati diri intelektual muslimnya yang bercorakkan independen. Hal ini telah dilakukan oleh pendahulu himpunan dalam mengawal kondisi masyarakat. Tentunya bukan hanya retorika semata, sehingga ucapan kader conthonger dapat terbantahkan melalui aksi. Aksi di sini tidak hanya unjuk gigi di depan publik dengan membawa spanduk dan jargon-jargon fisik himpunan. Pada kongres IX tahun 1969, Nurcholis Majid dan Sakib Mahmud merumuskan kedudukan keagamaan dan ideologi sebagai ranah da’wah gerakan.

Kondisi sosial masyarakat telah mampu diterawang oleh Soekarno, bahwa musuh penjajah bangsa pada pasca kemerdekaan 1945 telah berubah wujud menjadi berbagai macam “musuh semu”. Musuh ini kemudian lebih familiar dengan neo kolonialisme. Perekonomian dan politik globalisasi menjadi senjata lanjutan bagi barat untuk menguasai bangsa timur, termasuk NKRI. Kapitalisasi diberbagai lini kehidupan mulai menghegemoni pola kehidupan modernisme. Soekarno selama masa perjuangan reformasi pertama di RI, berusaha untuk menerapkan negara adalah miliki pribadi. Hal ini bahkan dijadikan semboyan politik internasional “bebas aktif, ekonomi mandiri”.

Rezim kepemimpinan telah berubah enam kali dalam sejarah Indonesia. Akan tetapi isu sosial bukannya semakin terurai, malah semakin semerawut. Imbas dampak timbal balik pun akhirnya berlaku. Kondisi lingkungan yang semakin tercemar karena keberadaan industri yang hanya menguntungkan pemodal besar telah merusak lingkungan, lebih akutnya keberadaan pabrik dan beberapa industri telah merubah kondisi lingkungan yang hijau menjadi hitam, tapi tentunya bukan hijau-hitam jargonnya HMI.

Swalayan dan beberapa pasar modern telah menggeser peran pasar rakyat atau pasar tradisional. Tradisi kapitalis mulai menggeser ekonomi kerakyatan. Kehidupan masyarakat menjadi hedonis, pokoknya apa yang ku peroleh itu nikmat. Jalur ekspres biasa dipilih tanpa menghiraukan dampaknya. Tentunya hal ini menghilangkan step by step kultur kearifan budaya lokal. Berapa pemuda yang lebih senang bermain gamelan dibanding guitar? Berapa pemuda yang telah menjadikan “baju setengah jadi” menjadi seragam wajib?

Predominasi pemerintah dalam pengelolaan kekayaan alam membawa dampak negatif terhadap kondisi lingkungan. Kekayaan intelektual juga menjadi target berikutnya. Pendidikan sebagai wadah gerakan intelektual mulai dikotori oleh kuku hitam penguasa. UU BHP yang pernah diterapkan diperguruan tinggi, kemudian ada juga jalur akselerasi khusus yang kemudian menciptakan kastanisasi pendidikan.

Kearifan budaya-budaya lokal Indonesia mulai digerus oleh stigma dan sterotip yang dibangun oleh barat. Baik lewat norma hingga pendidikan. Tentunya terkadang perlu juga adanya reaktualisasi gerakan reaksioner yang dulu pernah menjadi tonggak pemikiran himpunan. Contoh saja pembangunan stigma negatif teroris yang selalu mengarah pada gerakan jama’ah islamiyah (kelompok kaum muslimin). Cara pandang demikian mulai dikenalkan oleh Presiden Amerika setelah peristiwa hancurnya gedung WTC pada 9 September 2001.

Mengambil kata-kata dalam pokok-pokok perkaderan, bahwasanya realitas kehidupan membuat manusia semakin jauh dari fitrahnya. Orientasi materi mencapai pemujaannya secara akal dan indrawi, menyebabkan perubahan norma kemanusiaan dan idiologi sosial yang menjauhkan secara permanen dengan cita kultur lokal dan diinul islam. Beberapa persepsi dan cara pandang positivistik telah menghegemoni kemerdekaan kehidupan manusia, seperti feodalisme dan aristokrasi, diktator dan kolonial, kapitalisme dan materialisme, dan liberalisasi dan neo liberalisasi. Persepsi tersebut akan semakin menjadikan tertindasnya kaum mustdha’afien secara struktural.

Secara lebih tegas, revolusi kemerdekaan nasional belum selesai. Penjajah bangsa maritim ini bertranformasi secara morfologi menjadi penjajahan idiologi kebangsaan. Perlu adanya tindakan perubahan untuk menghapuskan hegemoni pemikiran menyesatkan. Langkah analitis, kritis dan oposisi terhadap kondisi yang diterapkan oleh birokrat negara perlu dilakukan oleh mahasiswa. Melalui pemikiran cendikiawan ulama, perubahan berdasar pada eksistensi terdalam dapat menjadi sebuah realisasi gerakan.