04/01/11

Orang Miskin Dilarang Hidup Di Indonesia

“Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
– Al Ankabuut : 62 –

Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki luas wilayah daratan hingga 1.910.931,32  . Kondisi geografis wilayah yang berpulau-pulau dan memiliki daerah perairan menjadikan icon negara maritim yang kaya akan hasil lautnya. Indonesia terletak di garis khatulistiwa yang memiliki dua musim, sehingga banyak fauna dapat berkembang. Kondisi tanah yang mendukung untuk menjadi lahan pembiakan beraneka flaura. Melihat kondisi demikian layaklah seorang Ario Santos mengugkapkan “Atlantis adalah wilayah sekarang yang disebut Indonesia dengan menampilkan perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung merapi & cara bertani persis seperti Atlantis dulu yang memiliki iptek yang hebat.”

Menilik data BPS bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.556.363 orang, terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Diantara jumlah penduduk usia kerja tersebut yang tergolong dalam penduduk miskin pada bulan Maret 2010 mencapai 31,02 juta Orang. Sebuah angka yang tidak sedikit.

Membincang tentang kondisi rakyat miskin, tak patut jika mengesampingkan kondisi sosio dan aktifitas yang mempengaruhi dan dipengaruhi. Banyak problema sosial yang dihadapi rakyat. Faktor ekonomi lebih menjadi alasan bagi para urban hidup di kota. Mereka berikhtiar dengan berjualan dan tak sedikit yang hidup dirumah sementara atau pemukiman pinggiran (bantaran sungai atau bawah jembatan). Rapatnya komunitas penduduk mengakibatkan kondisi wilayah kumuh, kotor, dan fasilitas (irigasi SPAL, DKP, hingga layanan administrasi) yang tak layak. Sungguh jauh beda dengan di lingkungan perumahan mewah, apartemen, atau lingkup rumah dinas.

Banyak kabar sering didengar lewat media terjadi peristiwa penggusuran lapak-lapak pedagang kaki lima atau rumah penduduk. Tidak perlu jauh-jauh kita dapat melakukan refleksi di daerah Semarang, misal yang terakhir kasus pembongkaran PKL Basu Dewo. Dalih yang digunakan mengacu pada UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan pasal 63 yang menyebutkan setiap orang yang sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan, maka akan dikenai denda minimal Rp 200 juta hingga Rp 15 miliar. Uang yang cukup besar  dibanding hukuman yang diterima koruptor.

Presiden SBY pernah menegaskan saat menyampaikan pidato kenegaraan serta keterangan pemerintah tentang RAPBN 2009, di hadapan Sidang Paripurna DPR, di Jakarta, 15 Agustus 2008 bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan dari 17,7% pada 2006, menjadi 15,4% dari total penduduk Indonesia pada Maret 2008. Angka kemiskinan tahun 2008 merupakan yang terendah, baik besaran maupun prosentasenya, selama 10 tahun terakhir. Akan tetapi banyak pengamat ekonomi mengatakan data tersebut diambil sebelum kenaikan harga BBM akhir Mei 2008 lalu. Sebuah pencintraan kinerja yang tak perlu.

Menghubungkan globalisasi, pengaruh kaum kapital sangatlah kompleks bagi peningkatan taraf hidup kaum marginal. Banyak pasar modern dibangun dekat pasar tradisonal atau di desa-desa, layaknya pertumbuhan jamur dimusim penghujan. Rakyat kemudian dijadikan buruh/pekerja yang imbasnya mereka mengemis gaji pada cukong-cukong asing. Pembangunan minimarket dan swalayan ini tidak sepenuhnya diterima rakyat, terutama golongan pedagang. Para warga Blora dan Sragen misalnya, melakukan aksi turun ke jalan untuk menolak pembangunan swalayan karena dianggap mematikan potensi pasar dan SDM masyarakat lokal.

Arah kebijakan pemerintah selama ini dinilai tidak berpihak kepada kepentingan pedagang pasar tradisional. Fakta itu nampak dari menyusutnya jumlah pasar tradisional di Indonesia. Jumlah pedagang pasar tradisional menyusut sebesar 8% per tahun secara nasional. Di sisi lain, pasar modern tumbuh 31,4% per tahun, di Jabotabek tumbuh 15% per tahun. Sejak 2004 sampai 2007, supermarket tumbuh 50% per tahun dan hypermarket tumbuh 70% per tahun,” kata pengamat ekonomi perdesaan H.M. Basofi Sudirman.

Penderitaan rakyat belum selesai pada musabab tersebut. Kondisi ditambah rumit dengan moral wakil rakyat dan pemerintah yang mencoba menjadikan rakyat sebagai sumber pendapatan besar anggaran negara. Fasilitas-fasilitas dan kebutuhan pokok dilengkapi dengan pajak, entah ini proyek kantong atau memang untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Padahal hasil pajak sampai sekarang belum dapat dirasakan secara menyeluruh diseluruh pelosok wilayah. Meningkatnya TDL listrik, BBM yang akan dicabut subsidinya, mencekiknya harga sembako disetiap musim panen, bahkan biaya administrasi kependudukan (KTP dan KK) juga ikut meningkat.

Biaya kesehatan sampai saat ini juga belum pernah mengalami deflasi. Biaya perawatan dan obat jalan yang dirujuk dokter ternyata juga menjadi hambatan rakyat miskin untuk menyembuhkan luka fisiknya. Akhirnya, banyak masyarakat yang memilih pengobatan alternatif atau kepercayaan lokal (khasiat-khasiat benda, temapat atau karomah seseorang) yang secara finansial sangatlah murah dan bahkan bisa gratis tidak dipungut biaya.

Meski pemerintah telah membuat aturan untuk menangani permasalahan sosial, akan tetapi hal itu semua seakan-akan hanya ilusi. Sebuah pemikiran yang tidak pernah secara tulus dilaksanakan oleh pelaksana, sehingga permasalahan yang ingin ditangani malah menjadi akut.

Dalam bidang hukum, banyak masyarakat yang terusik. Peristiwa pencurian buah Kakao yang sudah jatuh dari pohonnya, tega dilaporkan hingga maju ke meja hijau dengan ancaman hukuman penjara dan denda ganti rugi. Sedangkan para pencuri uang rakyat yang memiliki koneksi dengan kaum borjuis, kejaksaan, dan POLRI dapat melakukan rekayasa kasus sehingga bebas, adapun jika dapat hukuman juga tidak setimpal. Belum lagi nanti akan mendapat remisi atau grasi dari presiden. Sebuah pelanggaran besar terhadap Al Qur’an, Al Hadist dan UUD 1945 tentang kedudukan manusia di muka bumi.

Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat/negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yangg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).

Kemiskinan tidak lepas dari perilaku. Perilaku ini tentunya dipengaruhi oleh taraf pendidikan yang diterima masyarakat. Sampai sekarang pengelolalaan dana BOS belum transparan, gaji para tenaga pengajar yang belum sesuai dengan UU, dan fasilitas pendidikan belum setara mengakibatkan satuan pendidikan mengadakan tagihan beraneka macam. Mutu pendidikan yang secara BSN juga masih terkesan mengembangkan potensi kognitif, sehingga alumnus pendidikan-pendidikan formal belum siap pakai di masyarakat. Jadi terkesan tidak ada bedanya antara out put warga yang sekolah dan tidak sekolah. Lulusan SMP dan SMA sama-sama menjadi buruh pabrik dan sarjana muda menjadi pengangguran, lintah masyarakat.

Tidak ada komentar: