10/11/11

EGALITERISME DAN KESEMPURNAAN DALAM IEDUL ADHA


Bismillahirrachmanirrachim

Puji syukur atas karunia ahlu rizqi yang telah diberikan kepada suluruh ummat muslim sekalian...

Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar...
Laa illa ha illallahu akbar, alllahu akabar, wa lillahihilcham...

Pekikan kumandang takbir dimalam nan cerah, ditengah himpitan problematika sosial yang mencuat dari lubuk kesadaran manusia. Manusia sebagai makhluk yang labil, yang dengan mudah hati dan kesadarannya terbolak-balikkan oleh suasana kehidupan. Hanya ALLAH tempat bersandar dari segala khilaf nafsu dan amarah dunia yang mampu menetapkan hati manusia.

Ibadah haji merupakan salah satu rukun islam yang harus dijalankan oleh ummat islam (bagi yang mampu). Pembahasan mengenai ibadah haji, dalam Al Qur’an memuat surah khusus yang diberi nama al Hajj. Awal surah ini memberikan perintah kepada seluruh manusia untuk bertakwa kepada ALLAH karena balasan hari akhir akan nyata terjadi. Ayat ini dilanjutkan dengan kondisi manusia, dari awal penciptaannya hingga kematiaannya. Seperti demikianlah proses kehidupan manusia.

Nuansa bulan Dzulhijah dalam kalender hijriah merupakan pungkasan dalam hitungan tahun. Tentunya hal ini memberikan landasan yang begitu dalam pemahaman kehidupan manusia. Hitungan tahun hijriah dimulai angka 1 (bulan muharram) dan diakhiri angka 12 (bulan Dzulhijah). Angka 1 merupakan bentuk kesucian layaknya kelahiran bayi kecil dari rahim sang Ibu. Masa penderitaan 9 bulan 10 hari (dalam hitungan normal manusia) Ibu telah memelihara manusia dalam tempat yang kokoh diantara dua tempat yang kotor/menjijikkan. Raut wajah bahagia tampak di muka Beliau saat jerit tangis si bayi menapakkan diri pada keindahan alam semesta. Semoga kasih dan sayang ALLAH selalu bersama Ibu kapan pun, amien.

Dzulhijjah merupakan salah satu bulan mulia, dimana pada bulan ini ummat manusia berbondong-bondong hijrah ke tanah Hijaz untuk menunaikan ibadah rukun islam yang ke-5, yakni Haji. Ibadah ini telah ditetapkan semenjak Nabi Ibrahim AS. (QS 22:26). Seruan beribadah haji telah disepakati oleh seluruh ummat islam sebagai bentuk ibadah kaum muslim (QS 22:27). Banyak yang telah menafsirkan mengenai arti penting dari ibadah haji. Suri tauladan pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS. sebagai bentuk konsekuensi atas keyakinannya. Ada juga yang memberikan pengertian akan pentingnya kebersamaan dan persatuan dari seluruh ummat islam. Kesatuan totalitas ummat yang menunjukkan kekuatan spiritualitas memenuhi daratan arab sambil meneriakkan “Labbaik Allahumma labbaik. Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu”. Seluruh tafsir yang telah diberikan ulama tersebut dan lainnya, telah memenuhi pandangan kita mengenai kebesaran bulan besar Dzulhijjah.

Ummat islam mengenal hari raya besar ada dua, iedul fitri pada bulan Syawal (bulan 10) dan bulan iedul adha pada bulan Dzulhijjah (bulan 12) yang saat ini kita rasakan. Pemahaman kita tertuju pada bagaimana bentuk penyucian diri manusia yang telah diberikan petunjuk ALLAH pada ummat muslim semua. Dikatakan ummat muslim karena yang dapat menerima nikmat ini adalah manusia yang melaksanakan syari’at islam sebagai bentuk amal ibadahnya. Tentunya ada makna mengenai keberadaan dua penyucian ini.

Pemahaman kita mulai dari bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan seluruh ummat manusia telah melaksanakan ibadah puasa. Puasa dapat dipahami sebagai wadah bagi manusia untuk melakukan pembersihan diri dari nafsu dan amarah duniawi. Pada bulan ke-9 ini, manusia berjuang keras berpuasa menahan seluruh hawa nafsu duniawi hanya untuk mendapatkan mendapat ridho ALLAH. Setelah 30 atau 29 hari lamanya, manusia melaksanakan rukun islam maka ummat muslim dianggap telah suci kembali dari segala sikap nafsu dan amarah duniawi. Sehingga pada bulan ke-10 (bulan Syawal) manusia dikatakan telah membuka lembaran kesucian diri. Tradisi ummat islam di Indonesia, pada bulan Syawal atau iedul Fitri saling meminta dan memberikan maaf kepada seluruh saudara dan kerabat-kerabatnya.

Bentuk kesucian yang dirasakan ummat muslim tidak terhenti sampai disini, ummat muslim akan terus diberi hidayah oleh ALLAH selama di dunia (QS 2:5). Bagi mereka masih diperlukan pegangan kesempurnaan. Layaknya orang tua, manusia sudah dianggap menikmati seluruh bentuk manis, asam, dan garam kehidupan pada masa mudanya. Setelah beranjak tua, manusia mulai menuai hasil jerih payah dari pengalaman kehidupannya. Akan tetapi sikap ini terkadang memberikan dampak akan kelupaan diri dengan kesemestaan disekitarnya. Manusia lebih merasa nyaman dalam dunianya sendiri. Sikap kesombongan dan keangkuhan diri terkadang menjadi batu ganjalan dalam harmonisasi hubungan antar manusia. Sikap merasa diri yang paling suci dan paling benar akan apa yang ummat muslim terima dari proses ibadahnya kepada ALLAH dirasa sebagai kesucian dan kebenaran mutlak, sehingga tidak jarang kaum muslim menyalahkan muslim lain dan membenarkan diri atas syari’at yang menghantarkan dirinya mencapai kesucian dan kebenaran mutlak.

Sikap demikian, telah diketahui oleh ALLAH. Wahyu ALLAH telah meperingatkan kepada seluruh manusia agar tidak berbantah-bantahan, karena hanya petunjukkan yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW merupakan sebuah jalan yang lurus (QS 22:67). Wahyu ini diperkuat pada peristiwa ibadah haji yang dilaksanakan pada bulan akhir tahun hijriyah, bulan ke-12 (bulan Dzulhijjah) sesaat setelah manusia mengalami kesucian pada bulan Syawal. Ummat muslim berasal dari seluruh penjuru dunia dengan suku, hukum, budaya, tradisi yang berbeda-beda melebur menjadi kesatuan parade spiritual mengitari ka’bah. Sebuah skenario Illahi dalam menampakkan wujud kesemestaan yang agung kepada manusia agar dapat dijadikan sebagai sebuah pelajaran mengenai kausalitas makrokosmos. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa dalam hal-hal apapun manusia berbeda-beda akan tetapi perbedaan ini tidak membawa pada perpecahan, karena sebenarnya manusia itu adalah satu yakni makhluk bersyahadat kepada ALLAH dan Muhammad SAW.

Ibadah haji merupakan ibadah yang dilaksanakan secara jama’ah. Ali Syari’ati memberikan perumpamaan sebagai sebuah parade ummat muslim. Suasana ini menunjukkan sikap kebersamaan dan egaliterisme antar ummat muslim di dunia. Ummat muslim diciptakan dengan bersuku-suku (QS 49:13) sebagai fitrah dhohirnya, akan tetapi hal itu salah jika muncul sikap mengunggulkan suku, kasta, klan, golongan, atau sejenisnya. apapun dan bagaimanapun alasannya, sikap mengunggulkan tersebut tidak dibenarkan, entah itu alasan mengembangkan potensi, menjaga ciri khas, atau lainnya. Efek fatal dari sikap ini adalah perpecahan ummat islam.

Ibadah haji memberikan pelajaran kepada seluruh manusia bagaimana berbagi kepada saudara-saudara. Nuansa ibadah haji kadang ditafsirkan hanya bagi mereka yang mampu secara ekonomi yang dapat melaksanakan ibadah. Pandangan semacam ini tidak benar adanya. Fakta terkadang kita jumpai, sebut si fulan yang dalam keseharian mendapat rezeki yang hanya cukup untuk kebutuhan makan (bahkan terkadang kurang) ternyata dapat melaksanakan haji setelah mendapat ajakan dari tetangganya. Cara lain mungkin akan dapat ditemui leh beberapa orang. Bahkan saudara kita yan secara ekonomi mampu, tapi sampai ia wafat belum melaksanakan ibadah haji. Selain itu, bagi ummat muslim yang belum atau tidak dapat menunaikan ibadah haji, dalam nuansa iedul adha juga mendapatkan hikmah dan kebahagian yang sama. Ummat di wilayah-wilayah yang lain, juga ikut melaksanakan hewan kurban. Pengorban mendapatkan limpahan rahmat dari sedekah hewan kurbannya dan penerima kurban juga mendapatkan limpahan rahmat karena menerima daging hewan kurbannya. Suasana egaliterisme ini sangat dirasakan dalam nuansa malam penuh gema Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar...
Laa illa ha illallahu akbar, alllahu akabar, wa lillahihilcham...

Terkait dengan hubungan antara ibadah haji dan konsep egalitarianisme tersebut, dapat kita kutipkan kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib tentang ibadah haji berikut ini. “Tidak diragukan lagi bahwa siapapun yang mampu menangkap spiritualitas keesaan ALLAH dalam ibadah haji, ia tidak akan membiarkan jiwanya jatuh ke dalam kehinaan dan represi. Siapa saja yan dalam ibadah haji ini mampu menyingkirkan perbedaan dan keistimewaan-keistimewaan duniawi, ia akan merasakan adanya kesucian, kebaikan hati, egalitarianisme, dan kasih sayang pada jiwanya. Setelah itu, ia akan menyebarkan berbagai hal yang indah itu di tengah-tengah masyarakat.”

Semangat kesempurnaan diri telah berada dalam diri manusia dalam bulan barokah ini. Semoga kita semua selalu berjumpa pada bulan ke-12, bulan Dzulhijjah, hari raya Iedul Adha, dan musim haji dalam keadaan sehat. Segala nikmat Rochman dan Rochim akan selalu pada diri kita yang mengakui keagungan dan kebesaran ALLAH.

Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar...
Laa illa ha illallahu akbar, alllahu akabar, wa lillahihilcham...

Billahittaufik wal hidayah

Tidak ada komentar: